Rabu, 23 November 2011

Mohammad Natsir : Perdana Menteri kita yang bersahaja

Mohammad Natsir

George Mc Kahin, Sejarawan dari Cornell University, Amerika Serikat, menulis, bahwa ia sangat terkesan terhadap Mohammad Natsir, sebagai negarawan yang rendah hati dan bersahaja.
Kahin menemui Mohammad Natsir di Yogyakarta, tahun 1948. Sejarawan Amerika dari Cornell itu, melihat Natsir dengan jas penuh tambalan yang saat itu dikenakan Natsir, yang hampir tidak menunjukkan sosok Natsir sebagai Menteri Penerangan.
Penampilannya yang sederhana dan bersahaja tetap dipertahankan Natsir saat menjadi Perdana Menteri (PM) pada tahun 1950-1951. Sebelum menempati rumah bekas Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi), Natsir dan keluarganya menumpang di rumah sahabatnya di Jalan Jawa, lalu di kawasan Tanah Abang.
Natsir tidak memiliki rumah pribadi sampai akhir hayatnya, kecuali rumahnya di Jalan Jawa milik sahabatnya, yang kemudian dihibahkan kepadanya.
Natsir juga hanya memiliki sebuah mobil pribadi bermerek DeSoto yang kusam. Ketika ditawari mobil mewah buatan Amerika Serikat pada tahun l956, dengan sangat halus Natsir menolaknya.
Pemimpin Partai Masyumi, yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara di Konstituante, di tahun 1955-1959 itu, ketika diberhetikan oleh Presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri, langsung menyerahkan mobil dinasnya, dan pulang menunggang sepedah ontel bersama sopirnya dari Istana.
Natsir tetap memiliki kepribadian yang kokoh, tidak mau berubah dengan alasan-alasan yang tidak prinsip. Natsir mempunyai pandangan-pandangan yang diyakininya, menyangkut masalah-masalah politik, bukan hanya terhadap Soekarno, semata.
Ketika, kekuasaan sudah beralih dari tangan Soekarno kepada Soeharto, sikap Natsir yang didasari kebenaran atas keyakinan agamanya itu, kembali Natsir berpisah dengan Soeharto, saat baru saja dibebaskan dari penjara.
Natsir berjasa menyelesaikan sengketa antara Indonesia-Mayasia, dan menghentikan konflik yang membawa perang di kawasan serumpun, di awal Orde Baru. Tetapi, Natsir tetap saja tidak dapat menerima sikap politik Soeharto, dan mengkritik pemerintahan Orde Baru.
Bekas pemimpin Partai Masyumi itu dikucilkan oleh Soeharto, sampai Natsir mati. Natisr dilarang berpergian ke luar negeri, menghadiri ceramah-ceramah, dan diundang dalam forum-forum resmi. Namun, semua itu tidak mengurangi perhatian Natsir terhadap nasib bangsanya.
Hmmm...sepertinya akan sulit menemukan sosok pemimpin seperti Mohammad Natsir sekarang ini, dimana para pemimpin negeri ini lebih banyak mementingkan diri mereka sendiri daripada kesejahteraan umat dan bangsanya......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar